Memori Dengan OZT

Martin Manullang
7 min readJun 9, 2021

--

Saya sengaja menulis ini dalam bahasa indonesia, tanpa terjemahan, dan tidak mencoba untuk menginterpretasikan pikiran saya dalam bahasa inggris karena saya tahu akan sulit. Tulisan kenangan ini saya simpan untuk diri saya sendiri di masa depan, yang mungkin sedang berada di Institut Teknologi Sumatera.

Hari ini, 9 Juni 2021, saya berangkat ke ruangan saya di kampus lebih awal. Alasannya sederhana, mengalihkan perhatian dari instagram yang memuat kenangan orang-orang tentang sosok satu ini.

26 September 2018, kira-kira hampir dua bulan setelah saya resmi bekerja di ITERA. Saat itu saya sedang punya midi controller baru, sambil iseng-iseng saya mencoba mengunggah salah satu cover lagu. Pak Ofyar mengomentari salah satu postingan saya sedang bermain keyboard. “Mantap Pak Martin, Awesome”, tulisnya.

Saya cukup yakin, saya tidak pernah memanggil beliau dengan sebutan “Pak Rektor”. Bagi saya panggilan nama lebih menggambarkan bagaimana hubungan kami. Memang tidak bisa dipungkiri beliau adalah atasan saya. Tapi toh mayoritas pembahasan kami tidak pernah soal pekerjaan. Panggilan itu tidak lantas mengkerdilkan jabatan dan posisi beliau di pekerjaan.

Kurang lebih beberapa hari setelahnya, di tahun 2018, saya pergi untuk makan siang. Telepon genggam saya berdering, “Pak ini Iman, dari rektorat. Bapak diminta menemui pak rektor sekarang”. Saat itu persepsi tentang seorang rektor ITERA belum tergambar jelas di benak saya. Bisa jadi sosok yang menakutkan, atau menyenangkan. Saya tancap gas untuk putar balik. Setibanya di ruangan beliau, saya diminta menunggu sejenak. “Masuk Pak” sapanya dengan ramah. Dugaan tentang akan diberi tugas pekerjaan yang berat seketika sirna. Alih-alih pekerjaan, saya malah diminta untuk membentuk sebuah band. Konyol sekali, pikir saya waktu itu. “Saya sebagai founder, Bapak sebagai ketua, dan ini harus tetap ada sampai nanti anda pensiun”. Padahal saat itu, saya sendiri belum yakin akan menghabiskan sisa hidup saya di tempat ini.

Berawal dari masa itu, hingga pertemuan terakhir kami di tanggal 4 Desember 2020, 90% interaksi kami hanya seputar nada dan melodi. Nada dan melodi tidak merujuk kepada nama seseorang, tapi dalam arti yang harfiah. Tidak jarang telepon genggam berdering hanya untuk membahas aransemen, akor, pergantian personil band. Atau menghabiskan malam di Gedung D lantai 3 setiap hari selasa dan/atau kamis, dari sore hingga pukul 12 bahkan 1 dini hari. ‘Kerja Malam’ rekan-rekan prodi IF kerap menyebutnya. Hampir tidak pernah ada urusan pekerjaan. Kalaupun ada, pasti kaitannya tidak jauh dari event, perpanggungan, fotografi, videografi, atau sistem tata suara.

Bagi saya, ‘kerja malam’ tidak se-menyeramkan seperti yang dibayangkan rekan-rekan lainnya. ‘Kerja malam’ sungguh menyenangkan, menggembirakan, namun juga terkadang disuguhi pesan-pesan yang membekas. Saya coba menitipkan di laman ini beberapa ‘percakapan’ yang masih membekas di ingatan saya, entah serius maupun banyolan, siapa tahu menarik untuk kembali di baca di masa depan.

“Kalian ini seumpama driver yang disuguhkan sebuah sports car yang sudah di‘starter’ di depan anda. Bensinnya penuh, kondisinya laik jalan. Anda cuma perlu menginjak pedal gas sekencang-kencangnya. Sports car itulah ITERA”

“Ini dek…(menunjuk pembuluh nadi di pergelangan tangan) Kalau dibelah, isi yang mengalir adalah ITERA… Harus seperti itu konsep yang kalian miliki”

“Satu hal yang lebih yang dimiliki oleh pendidik itu, kita… kita ini akan mewarisi ilmu, yang akan diturunkan terus, yang jadi amal jariyah… Walaupun kita nanti mati, ilmu yang kita sampaikan berkembang terus”

“Jangan jadi pemimpin yang kebanyakan berpikirnya, terlalu banyak mempertimbangkan ini itu… Berpikirlah sepertiorang teknik, set…set…set… beres kerjanya…Ibarat mobil, orang xxx masih mempertimbangkan ini itu, kondisi mobil lah di cek, spion lah di cek, wiper, lampu, dst… Kelamaan, ITERA butuh gerak cepat… Injak gas dulu aja, kalau di depan ada yang ketahuan rusak, menepi dan perbaiki, kalau perbaikannya lama, ya diakalin. Yang penting jalan dulu lah maju kedepan walaupun terseok-seok”

“Saya nggak perlu cerita berapa banyak pemberian amal saya (walaupun setelahnya beliau menceritakan beberapa hal yang penting tentang contoh beramal). Tapi orang tidak pernah miskin karena memberi. Kau beri banyak, dikasih lagi nanti sama-mu banyak. Kalau kau Islam, kalau mampu, berangkatkan lah haji orang-orang terdekatmu. Bantu orang-orang terdekatmu.”

“Jangan pernah bergantung sama orang. Buat apa gitu? Kita terlihat lemah kalau kita bergantung sama orang.”

“Semua harus bisa kau kerjakan sendiri. Setidaknya tahu cara mengerjakannya.”

“ITERA ini lebih dari istrimu. Berapa lama sih kau habiskan waktumu di rumah? Kau kerja di ITERA 8 jam sehari, belum lagi kalau ada kerjaan khusus. Sampai kau pensiun, muka orang-orang ini aja yang kau lihat (menunjuk ke arah dosen-dosen prodi IF). Lebih sering kalian lihat muka orang-orang ini daripada istri kalian”

“Jangan pernah bilang lagi kata-kata ‘saya’…” (terkait pembahasan rencana studi dengan Rossy, yang saat itu masih calon istri saya. “Kalian itu satu, tidak ada kata-kata ‘saya’. Tetapi ‘kami’ bukan lagi ‘saya’. Kamu itu kepala keluarga. Marah saya dengar ucapanmu itu. Jadi kemana kamu pergi, kesitu juga Rossy pergi. Tidak ada itu pisah-pisah. Ku xxxxx nanti kau” (kalimat terakhir diucapkan sambil tertawa dan bercanda). xxxx ini umpatan lucu-lucuan yang paling sering beliau sampaikan.

dan yang paling sering didengar semua sivitas akademik “Bisa nggak dek….?”, “Setuju…?”, “Sepakat…?”, “yang bener dek…..”

Belum lagi bully-an tentang SMA saya yang kerap jadi bahan bercandaan beliau. “Kau SMA mana dulu ?” | “SMA xxx pak” | “Ahh SMA itu banyak yg bandel-bandel itu,, saya dong SMA xxxx Medan. Pinter-pinter”. “Kangen medan saya, orang tua saya masih disana. Nanti kalau jadi kalian nikah, saya main-lah ke medan” Nyatanya pandemi memang tidak mengizinkan beliau hadir jadi “pianis pembuka” di acara resepsi kami.

“Saya ini nggak bisa jadi apa-apa kalau nggak ada istri saya. Orang hebat dia itu.” Setelah itu beliau menceritakan kisah masa mudanya di sebuah kereta api jakarta-bandung, bertemu dengan seorang bapak-bapak, yang meremehkan profesi seorang dosen. “Masak dibilangnya dosen nggak ada uangnya… Ya benar juga sih hahahaha” Lalu disambung lagi dengan kisah lain tentang Bapak dan Bu Elkha yang mengawali karir, pada sebuah proyek yang mengharuskan beliau berdua melakukan traffic counting. “Gantian saya dek ngitung mobil sama istri saya, kalo nggak gitu mana bisa dapat duit tambahan.”

“S3 itu berdarah-darah… betul ?”

Lebih konyol lagi ketika suatu hari supir bapak tidak ada di tempat. Seingat saya saat itu mas Panji sedang cuti. Namun bapak harus hadir mengecek lokasi UTBK di kampus. Lebih lagi, mobil dinas tidak ada di wisma. Alih-alih mencari supir pengganti sementara, beliau menyetir sendiri sebuah mobil pickup. Dari kejauhan, saya yang saat itu bertugas di pos medis UTBK melihat sebuah pickup melaju. Padahal harusnya daerah itu sudah steril dari kendaraan, apalagi kendaraan bongkar muat. Saya hanya bisa tersenyum dan kagum dengan kegigihan beliau.

“Saya Panji, supir Pak Ofyar seumur hidup”, begitu Mas Panji kerap kali memperkenalkan diri. Tuhan mengabulkannya mas, tapi dengan cara yang beda dengan pemahaman kita. Saya tidak bisa membayangkan betapa sedihnya inner circle beliau di rektorat. Mba Imel, Mas Frijan, Mas Panji, apalagi beliau sudah in touch sejak lama

Micro-manage saya menyebutnya. Hal itu pula yang terlontar dari teknisi sound sistem dan multimedia sewaan (rental) yang bertugas di salah satu event wisuda. “Beliau ini sampe ngurusin teknis peletakan kamera lho mas… Tadi beliau nempelin marking spot di lantai untuk titik letak kamera dan sorotan (coverage) kameranya. Masa anggotanya nggak ada yang ngurusin sih, kenapa harus dia”

dan masih banyak hal lain yang mungkin saat ini saya belum bisa tuangkan.

Hanya satu kali bapak berbicara dengan nada tinggi dengan saya. Seperti kumpulan kutipan di atas, ketika saya menyampaikan rencana studi s3 saya. Bahwa saya diterima di Eropa, tapi calon istri saya saat itu masih mencari LoA-nya. Baginya, keluarga itu yang utama. Family comes first.

Mungkin beliau nggak sempurna buatmu, juga buatku, bisa jadi ada sikap yang tidak sesuai dengan selera kita. Tapi akan sulit rasanya mencari karakter pemimpin seperti beliau.

6 Desember 2020, seperti biasa, saya datang lebih awal untuk checksound. Ternyata kali ini beliau lebih semangat. Padahal biasanya saya yang bantu untuk mengecek kelengkapan keyboard beliau. Tapi beliau datang lebih awal kali ini. “Gak punya kau baju kayak gini kan ? Saya duluan punya”. Saat itu Pak Ofyar tampak dengan sengaja memamerkan baju NTUST miliknya. “Ini akan menjadi konser perpisahan kami, setelah ini Martin, Edlyn, Indi dan beberapa anggota band akan studi lanjut. Martin akan berangkat ke sini (menunjukkan NTUST di baju)”. Namun ternyata maksud Tuhan lain. Tuhan memang merencanakan perpisahan kami di konser itu.

Dua malam sebelum hari saya menulis ini, beliau hadir di mimpi saya, saya memang orang yang jarang sekali bermimpi, dan kalau bangun, pasti lupa akan kisah lengkapnya. Entah apa interaksi kami di mimpi malam itu. Tidak jelas. Mungkin berpamitan? Bisa jadi. Tapi kenangan ini cukup membekas untuk memberi semangat melanjutkan perjuangannya.

https://www.instagram.com/p/CP4TFwON81n/?utm_source=ig_web_copy_link

Rest in love, tongkat estafet sudah (terlalu cepat) diberikan. Kisah tentangnya mungkin akan diceritakan kembali suatu saat di masa depan, mungkin bukan oleh saya, dan bukan dengan versi yang ini. Tapi apapun itu, cerita baik beliau harus tetap dihidupi oleh seluruh insan ITERA.

Lord knows, Dreams are hard to follow
But don’t let anyone, Tear them away, hey yeah
Hold on, There will be tomorrow
In time you’ll find the way

Mariah Carey — Heroes

--

--

Martin Manullang

Lifetime Learner. Write about my restlessness | Computer Engineering Ph.D. student | about me : https://mctm.me